Wacana Kita: ASWAJA adalah kepanjangan kata dari
“ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau
mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu;
“ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (
maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah
dan tasawuf”.
NU |
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan
Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal)
sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama
agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an.
untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para
pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi
muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (
ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah
SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik
merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik,
al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari
al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah
waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari
(260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan
aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’
terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql (
penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada
waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau
al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah
dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain.
Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi
kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini,
baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah
sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan
Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits,
ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode
tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan
Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat
- Pengertian gerakan sosial
Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang
merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau
individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik
dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.[2]
Sejumlah ahli
sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan
diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan
kesinambungan.[3] Definisikan gerakan sosial
sebagai: “any board social alliance of people who are associated in seeking
to effect or to block an aspect of social change within a society” artinya,
Suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong
ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat.[4]
Organisasi yang dinamis adalah
organisasi yang mampu berkolaborasi dengan sekitarnya. Ketika sumber daya yang
ada dapat berkolaborasi dan berbaur dengan sekitar maka akan tercipta sebuah
gerakan yang besar dan terarah. Jika subjek-subjek yang berada didalam sebuah
wadah organisasi mampu meningkatkan kualitas diri dan mampu meningkatkan
jejaring komunikasi dan kerjasama
- Gerakan Mempertahankan
Aswaja
Secara
tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia
mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan
disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka
menggunakan media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya
media tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang
berkembang di Indonesia.
Media
yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam
adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para
wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah
nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media
pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan
syariat dan tauhid Islam.
Bahkan
sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi
pra-Islam juga digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam.
Sistem pendidikan model asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli
agama jauh sebelum para wali datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa.
Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini diubah isinya dengan tetap
mempertahankan sistemnya.
Disamping
mewarisi tradisi Islam yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di
Indonesia, pada masa selanjutnya juga dikembangkan oleh para kiai pesantren
yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka belajar langsung kepada para
guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab
dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di
tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanad kepada para Imam
pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.
Islam
tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah
masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di
awal abad ke-20, ketika beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di
tanah suci mulai kenal dengan gerakan pembaharuan Islam, dan selanjutnya
membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran pembaharuan tersebut di tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi yang mengajarkan paham
Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang selama ini
dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.
Muncul
istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali
ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau
tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di
masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik,
misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres
Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam
Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada
ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke
Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi
ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan
menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu
kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.
Dari
sinilah kemudian para kiai dan ulama yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja
bersepakat membangun gerakan mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan
tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi
yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari
proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar
(gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan
para saudagar).
Disamping
sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi
ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak
terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi
mendirikan organisasi. Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi
ini adalah sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Karena
itu dapat dikatakan jika pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah
sebagai wadah gerakan penganut Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon
gerakan kaum puritan yang mulai menggugat keberadaan Islam tradisi yang
dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan
dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
- Sayap Gerakan Aswaja
Sebagai
sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja
membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi
tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini
bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan
pendidikan dan pengembangan ekonomi.
Dari
sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama merupakan sayap gerakan Aswaja dalam
bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap gerakan dalam sosial-budaya,
Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu dan
kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama
mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok
profesi.
Dalam
perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan
masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap
organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan
pemilihan umum pertama. Hal ini menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun
organisasi politik. Karena itu, gerakan Aswaja juga turut membuat organisasi
sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul
Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-budaya,
sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun
1955.
Kondisi
ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena
pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan
ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang
diterapkan Orde Baru tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki
sayap politik tersendiri, karena PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran
dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam
korporatisme negara yang menerapkan azas tunggal.
Dalam
kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP,
Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul
Ulama secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus
keluar dari gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi
salah satu bagian dari partai politik manapun.
Setelah
mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian
penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis
terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam
memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.
Lima
tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya
membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil
menggandeng grup bisnis besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini
memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama ini adalah didirikannya Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan didirikan sampai 2000
buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa berkembang dengan
baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami kalah kliring
dan dilikuidasi oleh pemerintah.
Setelah
Suharto tumbang dan Indonesia masuk dalam masa reformasi, euforia politik
terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja kembali mendirikan
organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat kepada
PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut
oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah
1926. Namun karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia
persiapan pendirian sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun
pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap politik ini mengalami berbagai
persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah pada pola hubungan
diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai
menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan
orang-orang NU.
Dari
semua uraian di atas ada beberapa yang perlu diperhatikan, terutama yang
berkaitan dengan positioning sayap-sayap gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut
harus menempati tempat yang telah ditentukan sesuai dengan dimensi yang menjadi
ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan tersebut akan bisa bertemu di wilayah
gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut adalah dalam proses pengorganisasian,
dimana semua sayap akan melakukan jika ingin betul-betul melayani semua anggota
atau warga yang menjadi bagian dari gerakan Aswaja.
C.
Bagaimana aswaja sebagai metode gerakan perspektif sosial budaya
Posisi Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan, sinergitas antara
analisa masalah yang dikoneptualisasikan melalui kerangka teoritis dengan
solusi yang ditawarkan, baik tawaran strategis maupun taktis. Analisa
permasalahan yang dilakukan tentunya menggunakan metode yang tawasuth, tawazun,
tasamuh, dan taadul, dengan berbagai teori dan pendekatan. Pada posisi inilah
berbagai penganut Ahlussunnah waljamaah memiliki corak yang beragam
karena perbedaan perspektif dan teoritik dalam memandang suatu fenomena. Maka,
tidak heran jika sesama kalangan sunni memiliki perbedaan dalam taktis dan
tindakan parsial, bahkan dalam solusi strategis sekali pun.
Dalam memaham persoalan sosial-budaya di
Indonesia, dapat dianalisa melalui dua pendekatan. Kedua hal
tersebut adalah sebagai berikut.
a)
analisa terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Hal ini dikarenakan proses globalisasi yang sedang terjadi merupakan bagian
dari mata rantai kebudayaan yang saling terkait dan terhubung satu sama lain.
b)
analisa terhadap nilai-nilai budaya lokal
yang dapat dijadikan pijakan dalam melakukan transformasi sosial-budaya
terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini,
Ahlussunnah sebagai metode gerakan menemukan relevansinya dalam
menggrekkan watak transformatif dari akulturasi budaya antara budaya lokal
dengan spirit pembebasan dari Islam. Posisi berbanding searah antara Islam
dengan budaya dalam melakukan perubahan sosial pada akhirnya mampu melakukan
filtrasi terhadap krisis identitas yang disebabkan keterjebakan oleh arus
global.
Hal pertama
yang dilakukan Ahlussunnah waljamaah sebagai entitas perubahan adalah
dengan melakukan harmonisasi antara agama dengan budaya. Hal ini dikarenakan
terjadi konflik vertikal antara pemahaman agama dengan budaya sebagai akibat
dari watak agama yang legal-formal dan baku berhadapan dengan budaya yang
selalu berubah dan lentur. Proses saling mendominasi dan menghegemoni antara
kedua pemahaman tersebut menyebabkan keduanya selalu bershadap-hadapan, bahkan
saling mengeliminasi.
Paradoks
tersebut bisa diatasi jika agama sebagai wahyu menjadi inspirasi untuk
melakukan pijakan perubahan, tentunya dengan penggalian melalui kerangka ushul
fiqih, kaidah fiqih, dan kerangka metodologi yang lainnya. Begitu pula budaya
sebagai refleksi perkembangan rasio manusia dengan sendirinya akan berubah
melalui perkembangan pemikiran dan paradigmatik.
Kedua, posisi
rekonsiliasi antara agama dengan budaya akan menjadi kekuatan masyarakat dalam
melakukan resistensi terhadap hegemoni globalisasi yang mempunyai sisi gelap,
yakni mengikis habis budaya lokal. Nilai-nilai Ahlusunnah waljamaah yang
berkolaborasi dengan teori-teori rekayasa sosial sejatinya mampu menjadi
pendorong sosial budaya yang timpang. Formula ini, jika dilaksanakan secara
konsisten, akan menciptakan identitas bangsa besar dengan kebesaran budaya,
serta mampu melakukan inovasi yang diadopsi dari hegemoni global.
Ahlussunah waljamaah mulai di uji kembali oleh kelompok
modernis yang menghendaki adnaya revisi terhadap beberapa ajarannya yang
dianggap perlu diubah agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Ahlussunnah waljamaah yaitu; “
Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa
ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan
tasawuf”.
Gerakan sosial
adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang
merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau
individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik
dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini,
sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan,
organisasi dan kesinambungan.
Dalam memaham persoalan sosial-budaya di Indonesia, dapat dianalisa melalui dua
pendekatan. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikut
a)
analisa
terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat
b)
analisa terhadap nilai-nilai budaya lokal
Post a Comment