Wacana Kita: ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
NU
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat
  1. Pengertian gerakan sosial
Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.[2]
Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan.[3] Definisikan gerakan sosial sebagai: “any board social alliance of people who are associated in seeking to effect or to block an aspect of social change within a society” artinya, Suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat.[4]
Organisasi yang dinamis adalah organisasi yang mampu berkolaborasi dengan sekitarnya. Ketika sumber daya yang ada dapat berkolaborasi dan berbaur dengan sekitar maka akan tercipta sebuah gerakan yang besar dan terarah. Jika subjek-subjek yang berada didalam sebuah wadah organisasi mampu meningkatkan kualitas diri dan mampu meningkatkan jejaring komunikasi dan kerjasama

  1. Gerakan Mempertahankan Aswaja
Secara tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang berkembang di Indonesia.
Media yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam.
Bahkan sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.
Disamping mewarisi tradisi Islam yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya juga dikembangkan oleh para kiai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanad kepada para Imam pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.
Islam tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.
Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.
Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar (gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para saudagar).
Disamping sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan organisasi. Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Karena itu dapat dikatakan jika pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
  1. Sayap Gerakan Aswaja
Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan pendidikan dan pengembangan ekonomi.
Dari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok profesi.
Dalam perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu, gerakan Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun 1955.
Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang menerapkan azas tunggal.
Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP, Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai politik manapun.
Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.
Lima tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.
Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan orang-orang NU.
Dari semua uraian di atas ada beberapa yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan positioning sayap-sayap gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut harus menempati tempat yang telah ditentukan sesuai dengan dimensi yang menjadi ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan tersebut akan bisa bertemu di wilayah gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut adalah dalam proses pengorganisasian, dimana semua sayap akan melakukan jika ingin betul-betul melayani semua anggota atau warga yang menjadi bagian dari gerakan Aswaja.
C.                Bagaimana aswaja sebagai metode gerakan perspektif sosial budaya
Posisi Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode gerakan, sinergitas antara analisa masalah yang dikoneptualisasikan melalui kerangka teoritis dengan solusi yang ditawarkan, baik tawaran strategis maupun taktis. Analisa permasalahan yang dilakukan tentunya menggunakan metode yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan taadul, dengan berbagai teori dan pendekatan. Pada posisi inilah berbagai penganut Ahlussunnah  waljamaah memiliki corak yang beragam karena perbedaan perspektif dan teoritik dalam memandang suatu fenomena. Maka, tidak heran jika sesama kalangan sunni memiliki perbedaan dalam taktis dan tindakan parsial, bahkan dalam solusi strategis sekali pun.
         Dalam memaham persoalan sosial-budaya di Indonesia, dapat dianalisa melalui dua pendekatan. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikut.
      a)       analisa terhadap kondisi sosial budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Hal ini dikarenakan proses globalisasi yang sedang terjadi merupakan bagian dari mata rantai kebudayaan yang saling terkait dan terhubung satu sama lain.
b)       analisa terhadap nilai-nilai budaya lokal yang dapat dijadikan pijakan dalam melakukan transformasi sosial-budaya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, Ahlussunnah  sebagai metode gerakan menemukan relevansinya dalam menggrekkan watak transformatif dari akulturasi budaya antara budaya lokal dengan spirit pembebasan dari Islam. Posisi berbanding searah antara Islam dengan budaya dalam melakukan perubahan sosial pada akhirnya mampu melakukan filtrasi terhadap krisis identitas yang disebabkan keterjebakan oleh arus global.
Hal pertama yang dilakukan Ahlussunnah  waljamaah sebagai entitas perubahan adalah dengan melakukan harmonisasi antara agama dengan budaya. Hal ini dikarenakan terjadi konflik vertikal antara pemahaman agama dengan budaya sebagai akibat dari watak agama yang legal-formal dan baku berhadapan dengan budaya yang selalu berubah dan lentur. Proses saling mendominasi dan menghegemoni antara kedua pemahaman tersebut menyebabkan keduanya selalu bershadap-hadapan, bahkan saling mengeliminasi.
Paradoks tersebut bisa diatasi jika agama sebagai wahyu menjadi inspirasi untuk melakukan pijakan perubahan, tentunya dengan penggalian melalui kerangka ushul fiqih, kaidah fiqih, dan kerangka metodologi yang lainnya. Begitu pula budaya sebagai refleksi perkembangan rasio manusia dengan sendirinya akan berubah melalui perkembangan pemikiran dan paradigmatik.
Kedua, posisi rekonsiliasi antara agama dengan budaya akan menjadi kekuatan masyarakat dalam melakukan resistensi terhadap hegemoni globalisasi yang mempunyai sisi gelap, yakni mengikis habis budaya lokal. Nilai-nilai Ahlusunnah waljamaah yang berkolaborasi dengan teori-teori rekayasa sosial sejatinya mampu menjadi pendorong sosial budaya yang timpang. Formula ini, jika dilaksanakan secara konsisten, akan menciptakan identitas bangsa besar dengan kebesaran budaya, serta mampu melakukan inovasi yang diadopsi dari hegemoni global.
           Ahlussunah waljamaah mulai di uji kembali oleh kelompok modernis yang menghendaki adnaya revisi terhadap beberapa ajarannya yang dianggap perlu diubah agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan.
Dalam memaham persoalan sosial-budaya di Indonesia, dapat dianalisa melalui dua pendekatan. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikut
a)         analisa terhadap kondisi sosial budaya masyarakat
b)         analisa terhadap nilai-nilai budaya lokal

Post a Comment

 
Top