Wacana Kita - Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya. Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat secara keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat dijadikan sebagai awal dari ideology selanjutnya.


filsof besar iran mendirikan aliran isyraqi yang memang menggabungkan filsafat dengan spiritualitas dalam cara yang pernah direncanakan adalah Ibnu Sina. Prinsip dasar Iluminasionis adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis hanya setelah pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya
Epistemologi Irfani
Pengertian Epistemologi Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan ma’rifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran haqqi qat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syariat, apa yang ada di balik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani bersifat intuitif, yang kemudian diungkapkan secara logis.
Sumber Asal Irfani
sketsa ulama 

Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan. Pertama, menganggap bahwa irfan dalam Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan di utara Iran. Di samping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang-orang bekas Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami.
Abu_NuwasKedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam. Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles’ yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik. Al-Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafdzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS. Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.
Sejatinya, ilmu irfani yang lahir dari perkembangan ilmu tashawwuf adalah lahir dari khazanah Islam sendiri, karena semua paradigma, dogma, doktrin, dan mitos keilmuannya ditopang oleh Al-Qur’an, Hadits Qudsy, Hadits, dan tradisi asketisme yang sudah dijalankan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw yang disebut Ashabul Shaffa, yang tinggal bersama-sama Nabi Muhammad Saw di masjid Nabawi. Pandangan sarjana-sarjana dan orientalis Barat tentang pengaruh agama luar terhadap tashawwuf, sejatinya merupakan kebiasaan klaim khas Barat terhadap ilmu pengetahuan apa pun yang dimiliki bangsa-bangsa Timur sebagai tiruan dari Barat. Dalam ilmu filsafat, misal, Barat menetapkan filsuf tertua adalah Thales yang hidup abad ke-5 SM. Apakah tokoh Thales itu ada dan merupakan orang Yunani paling bijak meski tidak jelas keberadaannya, fakta membuktikan bahwa filsuf-filsuf India seperti Kapila, sudah hidup 2000 tahun SM, Muni Tirtangkara, yang hidup 4000 tahun SM.  Jadi dalam konteks tashawwuf pun, para sufi dianggap menjiplak saja pengetahuan dan amaliah ruhani yang sudah dimiliki Barat meski tanpa bukti.
Konsep Epistemologi Irfani
ilustrasi

Thyagaraja Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang disebut zauq, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat), Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya, yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Religious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi (divine truth), kebenaran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
”Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.
wot ogal-agilKemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah : Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau ‘Ana al-Haqq’ dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti di atas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik
Aliran iluminasionis (Isyraqi)
Aliran Isyraqi
Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul. Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
Prinsip dasar Iluminasionis adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengelaman dianalisis hanya setelah pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya.
Sebagai salah satu aliran filsafat islam, filsafat Iluminasi tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis. Berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (‘irfan), sebagai pendamping bagi dasar bagi penalaran
Konsep Aliran Isyraqi
Aspek ontologis aliran iluminasionis, yang diwakili oleh konsep metafisika cahaya, yang merupakan ciri khas lainnya dari aliran ini. Sebagian filosof pernah mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam sinarnya. Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nûr Al-Anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.
Airan filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup fundamental atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat relatif. Bagi yang terakhir sesuatu bisa dilihat secara relatif “lebih atau kurang dan tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi yang tetap.
Selain kritik terhadap filsafat atau prinsip atau prinsip hylomorfisnya peripatetik, filsafat iluminasionis juga memberikan kritik yang tajam atas prinsipialitas wujud, seperti yang diyakini Ibn Sina. Sementara bagi Ibn Sina dan dikemudian hari Mulla Sadra, wujud adalah yang real, yang fundamental, sementara bagi Suhrawardi esensi (mahiyah)-lah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik dengan realitas. Sebagai pengikut Plato yang percaya bahwa esensilah yang sejati, sedangkan wujud hanyalah abstraksi subyektif manusia saja.
Ciri khas ketiga dari aliran iluminasionis bisa dilihat dari ajaran kosmologis mereka, berupa teori emanasi, namun lebih ekstensif dari teori emanasi kaum Peripatetik. Seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardi juga percaya bahwa alam semesta memancar dari Tuhan. Hanya saja dalam teori emanasi Suhrawardi, kita menjumpai bukan hanya istilah-istilah yang berbeda, tetapi juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Tidak seperti Ibn Sina, yang menyebut Tuhan dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Niscaya/Senantiasa Aktual), Suhrawardi menyebut-Nya Nûr al-Anwâr (Cahaya dari segala cahaya), kalau dilihat dari sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya yang lainnya, dan al-Ghani (Yang Independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakîr (berbanding dengan mumkîn al-wujûd-nya Ibn Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam kepada Tuhan.
Tahap Aliran Isyraqi
Terdiri atas tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengalaman. Tahap pertama ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri. Tahap kedua adalah tahap Iluminasi(pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) “Cahaya Ilahi” (Al-Nur Al-Ilahi). Tahap Ketiga, atau tahap kontruksi, ysng ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yaitu pengetahuan Iluminasionis (Al-Ilm Al-Isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi, tahap ketiga dan keempat seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-tulisan Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat Iluminasi.
Awal tahap pertama ditandai dengan kegiatan-kegiatan seperti melakukan uzlah selama empat puluh hari, tidak makan daging dan mempersiapkan diri untuk menerima ilham dan “wahyu”. Aktivitas-aktifitas itu tergolong dalam kategori umum praktik-praktik asketik dan mistik, meskipun tidak persis sama dengan maqam-maqam dan ahwal yang ditentukan oleh tarekat sufi, sebagaimana yang diketahui dalam karya-karya tasawuf pada masa Suhrawardi. Oleh karena itu, tahap pertama terdiri dari (1) aktifitas, (2) suatu syarat (yang dipenuhi oleh setiap orang, karena konon setiap orang mempunyai intuisi dan dalam diri setiap orang terdapat suatu bagian tertentu dari cahaya Tuhan) dan (3) “ilham” pribadi.
Tahap pertama membawa seseorang ketahap kedua, dan cahaya Ilahi memasuki wujud manusia. Kemudian, cahaya ini mengambil bentuk serangkaian “cahaya apokaliptik” (Al-Anwar Al-Sanihah) , dan melalui cahaya-cahaya itu diperoleh pengetahuan yang berfungsi sebagai fondasi ilmu-ilmu sejati (Al-‘Ulum Al-Haqiqiyyah).

Tahap ketiga adalah tahap mengontruksi suatu ilmu yang benar (‘Ilm Shahih). Dalam tahap ini, sang filosof menggunakan analisis diskursif. Pengalaman diuji coba, dan cara pembuktian yang digunakan adalah demonstrasi (burhan) Aristotelian dalam posteriory analitik. Kepastian yang sama yang diperoleh dengan bergerak dari data indrawi (pengamatan dan pembentukan konsep) ke demonstrasi berdasarkan akal, yang merupakan basis pengetahuan ilmiah diskursif, dikatakan terjadi ketika data visioner tempat filsafat Iluminasi bersandar didemonstrasikan. Ini dipenuhi melalui proses analisis dengan tujuan mendemonstrasikan pengalaman dan mengkonstruksi suatu sistem yang meletakkan pengalaman pada tempatnya kemudian mengabsahkannya, bahkan setelah pengalaman itu berakhir.

Post a Comment

 
Top