Wacana Kita - Mungkinkah berislam sekaligus menjadi seorang nasionalis yang fanatik? Pertanyaan ini menggelitik pikiran penulis oleh sebab penulis diajak berdiskusi dengan tema nasionalisme Pesantren. Berbincang nasionalisme di pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari induknya, NU, sebagai organisasi yang memperjuangkan kaum bersarung negeri ini.
gus hilal
Karakter nasionalistik barangkali bukanlah barang baru di kalangan Nahdliyin, mengingat sejarah telah membuktikan bahwa kaum bersarung ini telah mati-matian memperjuangkan dan mempertahankan NKRI sebagai sebuah bangsa yang utuh dan berdaulat. Hal ini bisa dilacak sejak 1935, pada saat Nahdlatul Ulama melangsungkan Muktamarnya yang ke-31 di Banjarmasin, Kalimantan.
Muktamar itu memutuskan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa harus dipertahankan, meskipun pemerintahnya bukan orang-orang Muslim. Hal ini didasarkan pada sebuah kitab bernama Bughyatul Mustarsyidin, berdasarkan pada alasan bahwa orang-orang Muslim di negeri ini dikasih kebebasan untuk menjalankan agamanya. Hal ini sejalan dengan pandangan sebagian ulama yang menyatakan bahwa negeri ini telah diperintah oleh kaum muslim sebelum orang-orang belanda itu datang ke negeri ini. Kita bisa melihat, kerajaan-kerajaan semacam Demak, Mataram, Cirebon, dan lain-lain telah terlebih dahulu memerintah negeri ini. Sehingga tidak ada alasan untuk membubarkan negara Indonesia dan membangun sebuah negara Islan di negeri ini.
Hal ini menjelaskan bahwa menjadi Muslim yang taat dan sekaligus menjadi seorang nasionalis bukan hal yang mustahil. Para ulama telah mencontohkan hal itu dengan sebuah tauladan yang apik. Momen berikutnya adalah bagaimana para ulama mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan dan memperjuangkan kelangsungan bangsa Indonesia adalah sebentuh Jihad Fi sabilillah.
Perhatikan, bagaimana para kiai ini, yang sehari-harinya hanya mengurus santri dan pusing dengan urusan bangunan pesantren, bisa berbicara tentang bangsa Indonesia dan bisa memberi sumbangan yang amat berarti terhadap keberlangsungan negeri ini.
Alkisah, pada tanggal 21-22 Oktober, seluruh kiai dari Madura dan Jawa berkumpul di Surabaya, untuk membicarakan melakukan penyikapan terhadap rencana kedatangan pasuka NICA pada pertengahan september, satu bulan selanjutnya. Dengan dipimpin langsung oleh hadratusy syaikh Hasyim Asy’ari, perkumpulan itu menyerukan bahwa mempertahankan negara Indonesia dari tangan belanda adalah sebentuk Jihad Fi sabilillah.
Baru pada tangga 10 November kita mengenal hari kesaktian Pancasila, karena para pejuang Arek-arek Suroboyo itu mempertahankan negerinya mati-matian dari tangan penjajah untuk, kedua kalinya! Andaikan tidak ada resolusi jihad, tentu negeri ini sudah berada ditangan penjajah, dan kita tidak bisa menikmati kemerdekaan seperti sekarang ini. Inilah peran yang telah dimainkan oleh kaum bersarung dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
Selanjutnya, bagaimana para kiai membuat konsep-konsep kebangsaan untuk mengisi kemerdekaan negeri ini. Tercatat di dalam sejarah Kiai Ahmad Siddiq, menelorkan konsep tentang persaudaraan kebangsaan (ukhuwah watoniyah), yang sejajar dengan persaudaraan seiman (ukhuwah islamiyah) dan sesama makhluk Tuhan (ukhuwah basyariyah). Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Ahmad Siddiq menganggap bahwa persaudaraan di level bangsa tidak berbeda dengan persaudaraan di level iman dan sesama makhluk Tuhan. Ketiga bentuk persaudaraan ini sama-sama termaktub di dalam kitab suci dan ditauladani dengan baik oleh kanjeng Nabi.
Dengan konsep persaudaraan ini, Kiai Ahmad Siddiq mengembangkan konsep pluralisme di tengah kehidupan bangsa yang amat beragam. Kehidupan yang eksklusif tidaklah sesuai dengan ajaran yang terdapat di dalam Islam. Konsep ini juga mengajarkan kehidupan antargolongan yang damai.
Nasionalisme Pesantren: Elitiskah?
Sekarang ada beberapa kalangan yang mengeluhkan bahwa nasionalisme yang berkembang di Pesantren cenderung elitis, kurang membumi. Masyarakat kelas bawah cenderung kurang peduli dengan tetek-bengek urusan tentang mempertahankan bangsa, sementara masyarakat kelas atas cenderung tidak ambil pusing dengan pendidikan politik terhadap masyarakatnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagaimana wacana tentang nasionalisme sebetulnya amat rapuh di level grassroot, dan pada ujungnya akan mudah digoncang oleh ancaman-ancaman dari luar.
Kita lihat saja, bagaimana televisi sudah menjadi panutan baru di luar para kiai dan ustadz di pesantren. Apakah televisi bisa menjembatani kesenjangan antara elit dan masyarakat bawah ini? Tentu harapan ini masih jauh dari jawaban positif, mengingat televisi dan media elektronik saat ini masih dikendalikan oleh pasar dan masih belum bisa menjembatani kesenjangan pendidikan di negeri kita. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa pendidikan politik sebagai basis dari wawasan kebangsaan terhadap penerus bangsa akan mengalami kendala yang sangat pelik.
Sementara itu, kecenderungan melakukan politisasi massa terhadap masyarakat bawah di kalangan nahdliyin telah mencapai titik yang amat massif. Masyarakat sebagai kekuatan perubahan telah terlanjur menjadi alat legitimasi sesaat untuk mengukuhkan jabatan dan kursi kekuasaan. Apalagi fenomena ini diperkuat dengan simbol-simbol agama, sehingga kecenderungan praktik politasasi agama semakin menguat.
Inilah catatan yang menjadi PR besar bagi kalangan nasionalis di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa penguatan basis nasionalisme di kalangan Nahdliyin adalah modal besar untuk keberlangsungan dan ketahanan Indonesia sebagai bangsa. Barangkali, pada ujungnya nanti, penguatan basis kultural adalah solusi yang aman.
Namun, bukan berarti sudah tidak ada harapan sama sekali, oleh sebab ada kecenderungan pesantren untuk kembali kepada masyarakat. Hal ini tentu menjadi kekuatan baru bagi kalangan masyarakat sipil untuk mempertahankan daya tawar nya dihadapan negara dan pasar.[]


Oleh: Gus Hilal

Post a Comment

 
Top