Wacana Kita - Tasaamuh atau dalam
bahasa Indonesia kita kenal dengan Toleransi sering didiskusikan dikalangan structural
pemerintah Negara sampai Desa, bahkan juga mahasiswa sampai masyarakat biasa, juga
praktisi hukum mengartikan toleransi dengan versi mereka melalui latar belakang
yang menempel dan mereka emban sekarang. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) arti Toleransi /to·le·ran·si/
n
adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan,
yang mengindikasikan bahwa tindak kesalahan bisa saja dimaafkan begitu saja
dengan alasan dan dengan kondisi yang tertentu pula.
Toleransi dewasa ini
sering dikaitkan dengan kehidupan beragama yang beragam. Sampai-sampai diatur
di Undang Undang Dasar 1945 tetang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 22 UU HAM “(1) Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”
Jika ditarik lagi
kepada artian kata toleransi, maka hanya kehidupan beragama saja yang harus
ditoleransi, tetapi juga aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya. Mengangkat isu
toleransi ke permukaan akan dihadapkan dengan pilihan jawaban yang tidak hanya
seperti pertanyaan quiz-quiz di televisi nasional yang semakin membodohkan
penontonnya, tidak semudah itu, pilihan jawaban yang ditawarkan tidaklah baku
akan selalu fleksible dan mengalir mengikuti keadaan. Pembahasan toleransi dibenturkan
dengan kenyataan dan kebohongan public yang di manipulasikan oleh orang
berkepentingan untuk dapat memperoleh amnesti dari pihak tertentu.
Lalu sebenarnya,
dimanakah letak batas toleransi itu? Untuk apa harus bertoleransi? Kepada siapa
toleransi layak untuk di sematkan? Kapan harus bertoleransi? Pertanyaan yang mungkin
sering muncul dibenak kita.
Didalam Pasal 4
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan seterusnya”.
Selama orang
disekeliling kita tidak tertindas dan merasakan kebebasan individualnya maka
toleransi sudah dilaksanakan. Lalu tolak ukur rasa ini yang sulit untuk
dijabarkan dan diketahui. Maka disinilah letak aturan tidak tertulis mengambil
alih, aturan yang sangat kental dan terkadang terbilang mistis, seperti norma-norma
dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di suatu tempat, yang biasa disebut hukum
adat. Tidak tertulis namun jelas mengikat masyarakat penganutnya. Maka dari
itu, toleransi tidak bisa terlepas dari tiga sekawanannya yang lain yaitu tawasuth, ta’adul, tawazun.
cinta NU |
Negara Indonesia ini
adalah Negara yang special karena kesuksesannya menamkan toleransi kepada
masyarakatnya. Di Negara ini tidak ada yang namanya agama tertentu dilarang
hadir, agama yang langsung bersanding dengan budaya yang ada. Hanya di Negara ini
agama menjadi lebih dewasa dan mengalami perkembangan pengartian dari teks
otentik panduan dari tuhan, wabil husus adalah agama islam, terutama Nahdlatul
Ulama. Di NU selain diwajibkan mecintai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjaga persaudaraan antara sesama muslimnya juga ada aturan yang bernama ukhuawah basyariah, yang menyerukan
untuk memperkuat persaudaraan antar manusia.
Proses toleransi sudah
tercermin dari keberagaman masyarakat sekarang, yang bisa dilihat dari aswaja
NU itu sendiri. Agamanya islam tetapi budaya yang dijalankan adalah budaya
Hindu. Jika dilihat dari sejarah tanah Nusantara ini, memang bukan agama islam
yang pertama kali memasuki dan menyebarkan pemahaman keagamaan terhadap rakyat
jelata. Masih lebih dulu agama hindu dan budha, lalu kemudian agama islam yang
datang dan menjajal keuntungan di tanah jawa, wal- hasil sukses.
Dengan eksistensi wali
songo sebagai pengusung ahlu al-sunnah wa
al-jamaah, benar-benar menerapkan toleransi kepada masyarakat yang nota
bene percaya terhadap adanya dunia ghaib dan menyembah berhala, batu-batu
besar, dan pohon-pohon besar. Dan kemudian dengan tasaamuhiah yang diterapkan oleh para wali, munculah beberapa
produk hukum tak tertulis dan di abadikan dalam kitab tak suci. Secara turun
temurun produk hukum ini diterapkan dan dilestarikan menjadi sebuah kebiasaan
yang mendarah daging dihati masyarakat pribumi.
Bahasa kekinian yang
bisa melambangkan metode yang dilaksanakan oleh wali songo adalah Pribumisasi. Tanpa
harus memaksakan rakyat untuk memeluk islam dan meninggalkan agama Shintonya
yang pada waktu itu mayoritas. Para wali memberikan pemikiran yang bebas
tentang agama islam, jika sudah mulai tertarik dituntunlah kepada jalan yang
sebenarnya. Tasaamuhiah para wali ini
menjadi viral jagad per-agama-an sampai saat ini. Menjadi berbeda bukan berarti
sesat. Karena memang tuntutan keadaan yang membentuk suatu pola piker tentang
hukum itu sendiri yaitu toleransi.
Secara otomatis jika kita menghargai jasa
parawali dan mengaku warga Negara Indonesia, maka junjung tinggi toleransi baik
dalam beragama maupun dalam aspek yang lainnya. Karena sejarah tanah ini
sehingga kita bisa dengan bebas melakukan apayang kita mau adalah berkat jasa,
jerih payah orang pendahulu kita.
Wallohu a’lam,
barokalloh, wallohul muafiq ilaa aqwamith thoriq. Amin.
Sumber-sumber :
http://kbbi.web.id/toleransi
https://www.facebook.com/notes/arip-budiman/kuhp-toleransi/1040217769322681/
Post a Comment