Wacana Kita - Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.

Membaca tiga karakteristik pemikiran yang dipetakan oleh M. Abid al-Jabiri, kiranya seirama dengan perjalanan pemikiran Hujjatul Islam Imam al-Ghazali sebagai salah satu tokoh Ahlun Assunnah wa al-jamaah-An-nahdliyah (ASWAJA NU)yang dianut. 
Pertama, Bayani dalam paparan al-Jabiri adalah pemikiran yang berlandaskan nash qur’ani dan keilmuan yang mengitari seperti nahwu, sharaf, asbab al-nuzul, dan seterusnya. Pesantren Indonesia mayoritas bercorak seperti ini, Bayani.
Kedua adalah corak ‘Irfani. Yang ini adalah pelabuhan terakhir Abu Hamid dalam perjalanan keilmuan, intuisi (kasyaf) seperti yang telah dijelaskan di atas. 
Dan ketiga adalah Burhani, logika akal murni yang diprakarsai para filusuf Barat (ketika itu). Ini juga dilampaui oleh Hujjatul Islam. Terbukti dengan karyanya qistas al-mustaqim yang menjelaskan premis mayor, minor, dan kesimpulan ‘ala Aristoteles. Kemudian, takaran itu ia aplikasikan kepada al-Qur’an sebagai objek kajian untuk menakar kebenarannya.
Dari tiga corak berpikir ini, maka bisa diambil hipotesa sementara sebagai tawaran bahwa Imam al-Ghazali sebagai salah satu anutan ASWAJA NU mengalami perjalanan ketiganya dan membangun paradigmanya sendiri dalam keberagamaannya. Jika ketiga paradigma ini diamini sebagai epistemologi ASWAJA NU dalam corak berpikir menyelesaikan masalah keberagamaan, maka kiranya bisa menampung semua pemudanya.

Sebagai pemuda ideologis dari ASWAJA NU, budaya bayani, dalam prosesnya, yang berbasis pada pengetahuan dan pembahasan tekstual di interpretasikan berbeda, dengan alasan anti sekulerisme. Pengajian ilmu alat ketika di pondok pesantren disandingkan dengan pengajian tentang ideologi dunia, budaya, politik, kenegaraan, dan seterusnya ketika bersinggungan dengan kampus, benar-benar mempelajarai ilmu teks ketika terjun kepada konteks sosial kemasyarakatan yang secara tidak langsung bersinggungan dengan hablum min al-alam dan hablum min an-nas. Praxis ini bersanding dangan burhani sebagai alat atau instrumen ber-ijtihad untuk menemukan kebenaran yang tidak mutlak pada persoalan yang dinamis. Corak burhani yang mengedepankan akal akan sangat kentara pada sosok mahasiswa, karena memang mahasiswa dituntut untuk demikian.
Rasional yang dipakai untuk menggali permasalahan yang dikontekskan sebagai pembuktian dari corak bayani. Kedua hal tersebut paling tidak sudah terlaksanakan secara tidak sadar. Corak Bayani dan Burhani bisa dikatakan sudah menjadi budaya diskusi kaum muda ASWAJA NU. Ada satu sisi yang belum tersentuh dan belum terlalu membudaya di kalangan ASWAJA NU muda. Yaitu corak ‘Irfani yang mencakup Ilham, manam,al-ru’yah al-shadiqah dan adat istiadat sebagai bagian dari epistemology ASWAJA NU.
Pembudayaan tahlil, istighosah, yasinan, shalawatan, dikatakan Kudet, tetapi jika kita menilik sejarah peradaban di Indonesia karena adanya tradisionalisasi dan pribumisasianlah agama islam menjadi pesat perkembangannya.
Bisa dibayangkan jika disetiap ASWAJA NU sebelum melakukan kajian tentang apapun yang menyangkut kemaslahatan dan pekembangan umat melakukan praxis dari corak ‘Irfani ini. Alasannya Cuma sederhana, kita sudah kehilangan intimitas dengan tuhan, sehingga mengakibatkan krisis kepercayaan akut yang menjangkiti kita sejak kita tumbuh. Neraka kita anggap sebagai hukuman dari Allah kepada umatnya, sejatinya kit abaca dan ucapkan setiap hari yakni Bismillah Ar-rahman Ar-rahim, dari ini kita mendapati bukti bahwasannya allah itu maha pengasih dan maha penyayang. Nalar neraka sebagai bentuk murka tuhan terhadap kita, mari kita bongkar dan menggantikan kedudukannya menjadi Neraka adalah salah satu bentuk Ar-rahimnya tuhan. Praxis nya kita memposisikan tuhan sebagai partner trading, pemikiran punish and reward menjamur dalam pemikiran semenjak remaja bahkan balita.
ahmad zainuri

Corak Irfani mengantarkan pemikiran ASWAJA NU kepada basis cinta/mahabbah. Ini akan memobilisasi ASWAJA NU menuju Uzlah yang membuat pemikiran pergerakan tidak ada motif apapun yang tendensius terhadap satu hal hanya Allahlah tujuan dan motivasi kita. Intuisi yang di bangun ketika ’Irfani, Burhani, Bayani, terintegrasi akan memberikan akselerasi kader ASWAJA NU yang menjadi fa’il bukan hanya sekedar maf’ul sejarah.

Post a Comment

 
Top