Wacana Kita - Menjelang pemilihan presiden 2019, para calon presiden dan wakil presiden terus berusaha menampilkan sisi-sisi terbaik yang mereka miliki di hadapan publik. Mereka memanfaatkan berbagai media massa yang ada untuk mempromosikan diri mereka dan meraih simpati masyarakat, baik melalui media mainstream (cetak, televisi dan radio) maupun media baru yang berbasis internet atau online. Hal ini menunjukkan adanya indikasi dramaturgi. Dramaturgi oleh Erving Goffman dapat dikatakan sebagai panggung sandiwara, dimana individu berbeda karakternya ketika berada di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). 
Paslon Capres dan Cawapres 2019

Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi adalah sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Individu dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Seseorang bisa sangat yakin terhadap pertunjukan yang diperlihatkan kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya. Teori Dramaturgi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa di dalam kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Dalam hal ini, manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya. Identitas seorang aktor dalam berinteraksi dapat berubah, tergantung dengan siapa sang aktor berinteraksi.

Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimanakah drama yang ditampilkan melalui panggung depan (front stage), serta bagaimana sebenarnya panggung belakang (back stage) yang tidak mau ditampilkan oleh kedua pasangan calon?

Di dalam front stage, seorang aktor cenderung hanya menampilkan sisi-sisi terbaik dan menginginkan suatu pertunjukkan berjalan dengan lancar. Ada dua hal yang ditekankan oleh Goffman dalam front stage, yakni setting dan personal front. Setting menunjukkan tata cara, dalam hal ini terlihat dari kedua media sosial calon dengan hastage dan vision branding seperti kerja kerja kerja bagi paslon 01 maupun Indonesia Berdaulat bagi paslon 02. 

Kemudian yang menjadi bagian dari personal front adalah suatu perangkat yang digunakan sebagai wujud ekspresi agar mampu dikenali oleh audiens. Dalam hal ini yang menjadi bagian personal front adalah foto atau penampilan (fashion) paslon yang menurutnya terbaik dan mampu meyakinkan orang lain. Melalui penampilan yang digunakan paslon secara tidak langsung ingin menjelaskan bahwa dirinya seperti apa. Contoh 01 merakyat bagi capres dan alim ulama bagi cawapres. Begitu juga  paslon 02 berwibawa bagi capres dan kekinian bagi cawapres. Ini adalah salah satu bentuk pencitraan yang dilakukan paslon melalui setting dan personal front untuk menutupi back stage yang ada. 

Di dalam personal front, Goffman menambahkan dua hal lagi, yakni penampilan (appearance) dan cara (manner). Appearance menjelaskan mengenai hal-hal yang menunjukkan kelas sosial seorang aktor. Dalam hal ini, Prabowo juga melakukan demikian. Dari kedua paslon tersebut terlihat bagaimana posisi dan kelas sosial kedua paslon yang menjelaskan bahwa dirinya dari salah satu kelas sosial. Pencitraan yang terlihat dari posisi kelas dan sosial yang ditunjukkan oleh kedua paslon secara tidak langsung mengungkapkan bahwa mereka adalah orang yang merakyat bagi jokowi, orang yang sholeh bagi kyai maruf, orang yang berwibawa bagi prabowo dan orang yang kekinian bagi sandiaga. Selanjutnya adalah Manner. Manner menunjukkan kepada audien tentang suatu jenis peran yang oleh aktor diharapkan agar dapat dimainkan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini menyangkut bagaimana motivasi paslon dalam mengambarkan dirinya di suatu momen tertentu, seberapa sering paslon mengganti gaya dan menanggapi isu tertentu dalam suatu momen.

 Back stage dalam konsep Dramaturgi menjelaskan mengenai gambaran bahwa ada sesuatu hal yang diinginkan oleh aktor untuk tidak diketahui oleh audiens. Goffman memberikan gambaran bahwa seorang aktor mengharapkan audiens dari pertunjukkan depannya tidak muncul ke pertunjukkan di belakang. Dalam hal ini misalnya paslon 01 jokowi mempunyai menteri - menteri yang mempunyai permasalahan di masa lalunya seperti pelanggaran HAM, seperti kyai Ma'ruf Amin yang sudah sepuh.  Paslon 02 prabowo mempunyai masalah terkait HAM dan Sandiaga dengan kasus pertambangan tumpang pitunya. Backstage selalu ditutupi serta tidak ingin pihak lain menampilkan hal tersebut. Karena hal tersebut hanya akan melemahkan posisinya. 

Di dalam back stage juga terdapat konsep “impression management”, yaitu cara mengelola kesan atau citra ketika berhadapan dengan audiens. Impression management ini bertujuan untuk menjaga agar resiko-resiko yang tidak diharapkan dari suatu aksi bisa terhindari. Terlihat dari tim sukses kedua paslon yang selalu mengambarkan paslonnya tidak seperi isu negatif yang sedang menyerang mereka. Seperti isu Jokowi PKI yang dilawan dengan fakta - fakta jokowi shalat dan melaksanakan ibadah keislaman. Begitu juga isu Prabowo yang otoriter yang dilawan dengan gambaran prabowo yang lemah lembut dan keberpihakannya terhadap rakyat kecil untuk melawan isu tersebut. 

Jika digambarkan secara sederhana Teori Dramaturgi bisa digambarkan sebagai contohnya, seorang resepsionis di suatu hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang resepsionis bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya. Saat resepsionis menyambut tamu, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu dan memberikan pelayanan kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang resepsionis juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, resepsionis bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang resepsionis tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.

Lalu bagaimana sikap intelektual seperti kita sebagai pelajar dalam menganalisa panggung politik pilpres 2019? Sebagai kelompok sosial yang dituntut kritis dan jujur sejak dalam alam fikiran, aktifis pelajar haruslah tidak mudah percaya dengan front stage dari aktor - aktor politik yang ada. Back stage aktor politik harus menjadi kajian yang difokuskan agar masyarakat mengetahui bagaimana sejatinya kedua paslon yang ada.

By: Syahrul Ramadhan (Ketua PW IPM Jatim 2016-2018)

Post a Comment

 
Top