Wacana Kita - Seorang LGBT disebut menyimpang karena berbeda dari dominasi peradabannya yang heteroseksual. Kalau dia hidup di dalam peradaban yang menganut pola homoseksual, lesbi, dll dia pasti akan disebut normal, dan orang yang menganut heteroseksual pasti akan disebut menyimpang. Peradaban tampil sebagai penentu normal tidaknya sesuatu, salah benarnya sesuatu dan menyimpang tidak menyimpangnya sesuatu. Sementara peradaban diatur oleh kekuasaan, dan kekuasaan didukung oleh pengetahuan. Dari pemikiran logis foucault yang saya kontekstualisasikan dengan realita Indonesia hari ini, siapa yang berani membantah?
Wacana Kita
     
     Mungkin setelah membaca penjelasan saya tentang pemikiran foucault pembaca akan menganggap saya sebagai pembela LGBT atau bahkan saya sebagai pelaku LGBT. Namun saya sedang tidak ingin membahas perkara tersebut, namun konteks pemikiran foucult tentang relasi seks dan kekuasaan yang mari coba kita bahas. Jika diamati pemikiran foucult sangatlah relevan dengan keadaan di zaman nabi luth. Nabi Luth dianggap tidak normal karena tidak menyukasi sesame jenis, maka siapa yang sebenarnya bekerja sebagai penentu standart kenormalan di kehidupan ini? Kuasa/kekuasaanlah (power) yang berpengaruh menstandartisasi ukuran kenormalan di kehidupan ini. Senjata dari kuasa tersebut adalah pengetahuan yang menjadi penentu dari suatu peradaban. Bagi Foucault setiap peradaban mempunya lapisan peradabannya yang disebut dengan episteme. Dan espisteme itu suatu waktu akan berubah tergantung diskursus apa yang mendominasi espisteme tersebut. 

     Sebagai contoh pada masa Victoria karena adanya represi seksualitas. Segala sesuatunya harus serba teratur, sopan, dan semua yang terkait dengan seks tabu untuk dibicarakan di publik. Padahal sebelum abad ke-17, kata-kata dan kegiatan terkait seks tidak ditutup-tutupi. Seksualitas hanya dibicarakan di kamar, rumah bordil, rumah sakit jiwa. Seksualitas direpresi sedemikian rupa untuk mengatur masyarakat pada saat itu. Ternyata pengekangan seksualitas itu berhubungan erat dengan kekuasaan dan kapitalisme. Seks dan tubuh diatur, dibuat patuh,  dan, dibungkam untuk mengatur agar pola produksi pekerja di era itu mampu bekerja dengan maksimal. 

    Tidak hanya di era victoria, di budaya masyarakat kita seakan – akan pembahasan tentang sex menjadi pembahasan yang berdosa. Bayangkan saja jika ada anak perempuan kecil yang mengingatkan teman laki - lakinya ketika mengompol dengan pernyataan “eh itu penismu mengeluarkan air”, saya yakin anak perempuan kecil itu akan dianggap sangat nakal di masyarakat sekitar. Kita lebih merasa sopan dan tidak berdosa mengistilahkan penis dengan burung daripada mengatakan penis secara langsung. Lantas, Siapa yang membentuk standart bahwa pernyataan ‘burung’ lebih sopan daripada penis?

      Dengan adanya relasi kuasa dibelakang seksualitas maka kita sebagai aktivis sosial haruslah berani membongkar pengetahuan sebagai alat kuasa yang mencoba untuk mendominasi peradaban. Adanya eksploitasi tubuh, standartisasi kecantikan/ketampanan, dan penindasan berkedok agama haruslah menjadi kuasa yang harus kita bongkar pada relasi seks masyarakat kita. Sebagai contoh relasi seksualitas antara laki – laki dan perempuan di dalam organisasi. Sering sekali kita menemukan konsepsi bahwa untuk menarik perhatian peserta dari suatu acara maka pada acara tersebut pembawa acaranya haruslah perempuan yang cantik menurut standart mayoritas panitia pada acara tersebut. Pola dominasi terhadap standart kecantikan ini selain mengandung relasi kuasa seks juga berdampak pada eksploitasi tubuh wanita. Selain itu sekarang mulai bermunculan standartisasi tubuh ideal, wajah cantik, laki – laki proposional dan bahkan islam digunakan untuk membuat claim standart seksualitas pada seseorang contohnya dengan menstandartkan wanita yang syar’I dan tidak sya’I dalam berpenampilan padahal sama – sama menutup auratnya. 

     Standartisasi normal atau menyimpang haruslah kita analisa secara dalam apakah itu memang kebenaran dari agama atau hanya keberagamaan dalam menafsirkan agama saja. Dalam hal ini Foucault menawarkan konsep arkeologi pengetahuan dengan menganalisa suatu peradaban sebagai sejarah yang mempunai artefak – artefak yang membentuknya. Bahkan biasanya artefak itu tersembunyi di balik realita yang ada. Percayalah, bahwa ahmad dahlan dahulu dianggap gila dan tidak normal di eranya, namun karena beliau memenangkan diskursus yang dibawanya karena beliau menganggap bahwa diskursusnya sesuai dengan ajaran agama, maka hari ini diskursusnya menjadi espiteme pada peradaban kita.

oleh: M.Syahrul Ramadan.

Post a Comment

 
Top