Wacana Kita - Kita masih dalam suasana memperingati
kelahiran Nabi Pamungkas, Muhammad saw. Menurut sumber yang mashur, beliau
lahir pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, atau bertepatan dengan Tahun 570 M.
peringatan ini menjadi momentum untuk merefleksi fungsi kerasulan Muhammad vis
a vis problem sosial, budaya, dan keagamaan.
Fenomena terkini menunjukkan agama telah
dijauhkan oleh pemeluknya sendiri dari ruh dan esensi terdalamnya, yang tersisa
kemudian adalah agama sebagai baju dan identitas simbolik yang diperebutkan
dalam wilayah publik. Fenomena yang kasat mata adalah konflik dan klaim
kebenaran antar kelompok keagamaan yang berbeda aliran, ideologi, dan mazhab.
Fenomena ini semakin parah dengan diseretnya identitas agama dalam ranah
politik praktis untuk memuaskan dahaga kekuasaan para elit.
fenomena alam bulan merah - wacana kita |
Nilai akhlak dan moralitas inilah yang menjadi ruh
agama. Ajaran-ajaran yang bersifat praktis seperti shalat, zakat dan lainnya adalah manifestasi dari nilai
moralitas atau ia dimaksudkan sebagai pendidikan individu untuk sampai pada
moralitas tertentu.
Tetapi realitas menunjukkan betapa banyak orang yang
melakukan sholat, misalnya, tetapi dalam kehidupan keseharian belum bisa
menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Hal yang sama juga terjadi pada
fenomena maraknya ibadah haji dan umrah di Indonesia yang belum berbanding lurus dengan
perbaikan moralitas. Budaya korupsi tetap saja masih menjadi persoalan yang
sulit untuk diatasi. Ini semua menunjuk pada gap lebar antara keberagamaan kita
dengan nilai moralitas dan akhlak.
Nilai moralitas adalah kebenaran agama. Agama
hakikatnya bukan aspek simboliknya. Kuntowijoyo menyatakan bahwa kebenaran
agama bersifat nonkumulatif (tidak berkembang), berbeda dengan fisika dan ilmu-ilmu
kealaman lain. Karena itu ajaran dan kebijaksanaan Nabi Muhammad tidak akan
lekang oleh waktu dan menjadi inspirasi setiap generasi. Ajaran dan
kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang bersifat perennial, seperti kejujuran,
kasih sayang, keadilan sosial dan lainnya.
Kesadaran di atas menjadi sangat penting, karena
Muhammad saw selain membawa pesan kewahyuan yang transhistoris, beliau juga
sosok yang menyejarah. Artinya, pesan moral wahyu yang diterima oleh Nabi harus
diadaptasikan sesuai dengan konteks kultural masa kenabian.
Muhammad selain sebagai Nabi adalah manusia biasa
yang mempunyai ekspektasi, harapan, idealisme dalam melihat realitas kala itu,
dan bagaimana mendialogkan dengan pesan wahyu. Dalam konteks inilah terjadi
dialektika dinamis antara esensi dan bentuk agama, antara idealitas dan
realitas keberagamaan. Dalam bahasa Fazlur Rahman ada proses kreatif
nalar kenabian dalam
pewahyuan.
Selama ini umat Islam meyakini bahwa semua yang
datang dari Nabi adalah bernilai tasyri’ dan harus diikuti
secara harfiyah, tanpa membedakan nilai kerasulan Muhammad yang transhistoris
dengan sosok historis Muhammad. Akibatnya adalah tereduksinya pesan ideal-moral
dan kebijaksanaan kenabian dalan praktek-praktek keberagamaan yang bersifat harfiyah.
Contoh dalam hal ini adalah bagaimana teks-teks
hadis tentang jihad dipakai untuk melegitimasi kekerasan atas nama agama.
Padahal, kesahihan sebuah hadis belum merupakan justifikasi untuk diamalkan
begitu saja tanpa adanya interpretasi yang memadahi. Interpretasi tersebut
dengan melihat sepenuhnya konteks sosial hadis ketika disabdakan dan konteks
kontemporer ketika pesan hadis akan diaplikasikan.
Tepat sekali klasifikasi Rahman tentang prophetic
sunnah dan living sunnah. Prophetic sunnah
adalah tradisi ideal yang dinisbahkan kepada Nabi. Sementara, living sunnah
adalah elaborasi dan tafsir kreatif terhadap prophetic sunnah sesuai dengan
tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer.
Karena itu sunnah harus kita lihat sebagai
normativitas dan kebijaksaan perilaku Nabi, bukan semata sekumpulan teks yang
kita pahami secara harfiyah. Kebijaksanaan tersebut kemudian kita adaptasikan
secara cerdas sesuai konteks kontemporer. Inilah yang dimaksud living sunnah
(sunnah yang hidup) yang menggaransi agama sebagai rahmah li al-alamin.
Sesuai konteks di atas, mengelaborasi sunnah
profetis terkait relasi sosial menjadi urgen. Sementara ini teladan dan
kebijakan relasi sosial Nabi tertelan oleh tafsir-tafsir kebencian. Di antara
kebijaksanaan Nabi adalah peristiwa Fath Mekkah (penaklukan
kota Mekah) yang berjalan secara damai. Nabi adalah sosok yang jauh dari
karakter pemarah dan pendendam, walaupun sebelumnya beliau dizalimi oleh kaum
musyrikin. Karena penghormatan terhadap musuh ini, Abu Sufyan musuh utama Nabi,
dengan sukarela masuk Islam.
Dalam riwayat yang lain, pernah suatu seketika Nabi
berdiri untuk menghormati iring-iringan jenazah yang lewat. Seketika sahabat
mengingatkan Nabi bahwa yang lewat adalah jenazah Yahudi. Nabi saw kemudian
menjawab: “Bukankah ia juga manusia?” Dalam sebuah hadis sahih juga
dinyatakan:”Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah al-hanafiyah
al-samhah (yang lurus dan toleran) “.
Sunnah profetis di atas selayaknya dikembangkan dan
diadaptasikan pada masyarakat kita yang yang serba majemuk. Meneladani Nabi
sesungguhnya adalah melakukan elaborasi, tafsir, dan aplikasi sunnah profetis
sesuai dengan tantangan kemanusiaan kontemporer. Saat inilah momentum yang tepat untuk menyegarkan kembali
komitmen untuk meneladani Nabi saw dengan cara yang bijak. Selamat memperingati
maulid Nabi saw!
sumber: geotimes
Post a Comment