Wacana Kita - Sebagai warga Indonesia yang menghormati merah putih
barangkali kita agak terusik dengan keberadaan bendera ISIS dan HTI yang
diklaim oleh para kader militan sebagai bendera Rasulullah saw. Bendera
Rasulullah saw kini semakin marak digunakan oleh kelompok radikal dalam
sejumlah aksi demonstrasi, seakan-akan bendera itulah yang Islami sedangkan
merah putih tidak sesuai dengan hadits Nabi. Para ideolog HTI juga sering
mengutip hadits-hadits tentang bendera Rasulullah dengan pemahaman yang
tekstual. Pemahaman seperti ini perlu dikaji ulang dan diluruskan.
bendera ini dianggap sebagai simbol Rasulullah padahal tidak - wacana kita |
Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari
diterangkan bahwa warna bendera Rasulullah saw masih diperdebatkan disebabkan
perbedaan redaksi hadits dan riwayat yang beragam. Dalam haditsnya Jabir diterangkan
bahwa bendera Rasul saat masuk Makkah berwarna putih (anna Rasulallah dakhala
Makkata wa liwa`uhu abyadh). Dalam haditsnya al-Bara’ diterangkan warnanya
hitam (anna rayata Rasulillah kanat sauda`). Abu Dawud meriwayatkan bendera
Rasulullah berwarna kuning (raaytu rayata Rasulillah shallallahu ‘alayhi
wasallama shafra`).
Untuk menyikapi hadits yang saling bertentangan ini,
para ulama menggunakan metode ushul fiqh “al-jam’u baynal adilah”,
mensinkronkan dalil-dalil yang bertentangan. Kesimpulannya, bendera Rasulullah
saw berganti-ganti sesuai kondisi dan situasi (takhtalifu bikhtilafil awqat)
dan para perawi meriwayatkan secara berbeda-beda sesuai yang mereka lihat atau
dengarkan.
Bendera ISIS dan HTI terdapat tulisan La ilaha
illallah Muhammad Rasulullah dan mereka mengklaim bahwa bendera Rasulullah saw
juga terdapat tulisan seperti itu. Pemahaman seperti ini didasarkan pada hadits
Ibnu Abbas “Kana maktuban ‘ala rayatihi la ilaha illallah Muhammad Rasulullah”.
Namun dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari diterangkan bahwa sanad
hadis tersebut adalah “wahin/dha’if jiddan” atau lemah sekali atau diduga hoax
(muttaham bil kidzbi).
Ajaran Islam tidak menentukan warna bendera. Bendera
Rasulullah saw bukanlah syiar agama, akan tetapi hanya kode untuk
mengisyaratkan strategi perang (alwanu rayat fi tilkal fatrah lam takun
tumatstsilu syiaran walakin rumuz). Bendera Rasulullah saw dikibarkan oleh
tentara pilihan yang paling pemberani, yakni Hamzah, Ali bin Abi Thalib, dan
Mush’ab bin ‘Umayr. Menurut Ibnu Khaldun, sejarawan Muslim terkemuka, tujuan
dari bendera yang dikibarkan oleh pejuang adalah untuk mengintimidasi dan
menakut-nakuti tentara musuh (li tahwil wa takhwif).
Jadi hal ini murni strategi perang yang bersifat
kondisional dan profan, bukan doktrin agama yang sakral. Bendera bisa dirubah
warna apa saja karena tujuannya hanya kode dan isyarat untuk membedakan mana
kawan dan lawan saat kondisi perang.
Bendera warna hitam dan putih kemudian juga
digunakan sebagai penanda bagi pasukan kaum Muslimin di era Khulafa
al-Rasyidin. Namun seiring perkembangan zaman, bendera kaum Muslimin terus
mengalami perubahan. Di era Dinasti Umawi, menurut salah satu riwayat,
benderanya diganti dengan warna hijau menyesuaikan selera Bani Umayah yang
lebih menyukai warna hijau. Namun menurut riwayat lainnya, warnanya adalah
putih dengan tulisan La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.
Dalam kesempatan lain, ada pula bendera yang diberi
tulisan nashrun minallah wa fathun qarib yang artinya pertolongan dari Allah
dan penaklukan akan segera datang. Bendera ini di era belakangan dipakai juga
oleh Dinasti Muwahidin di Andalusia Spanyol.
Berganti Khilafah berganti pula kebijakan terkait
warna bendera. Pada era Khilafah Abasiyah, warna bendera diganti hitam. Menurut
Ibnu Khaldun, alasannya adalah untuk mengekspresikan kesedihan atas gugurnya
para syuhada’ dari Bani Hasyim. Pada era al-Ma’mun, benderanya diganti lagi
warnanya menjadi hijau sebagai syiar negara keadilan. Namun al-Ma’mun pada era
belakangan menggantinya lagi menjadi hitam karena warna hijau juga digunakan
oleh kelompok Alawiyin. Bendera Alawiyin yang hijau ini kemudian diganti oleh
kelompok Syiah menjadi putih sebagai bendera Khilafah Fathimiyyah Syiah di
kawasan Maghrib pada tahun 297 H/909 M. Di sini kita melihat bahwa perbedaan
kepentingan politik Sunni dan Syiah juga menjadi faktor perubahan warna
bendera.
Perubahan warna bendera terus terjadi dalam sejarah
umat Islam sesuai dengan pertimbangan filosofis, politis, ideologis,
sektarianis, dan selera warna sang pemimpin negara. Putih menyimbolkan
kesucian, hitam menyimbolkan keberanian dan ekspresi kesedihan atas gugurnya
para syuhada, hijau menyimbolkan keadilan dan kemakmuran, dan seterusnya. Dari
kajian hadits dan sejarah di atas, maka kita sebagai warga negara Indonesia
selayaknya menghormati merah putih dan tidak sepatutnya mempertentangkan merah
putih dengan bendera Rasulullah saw, sebab warna bendera hanyalah bersifat
fleksibel sesuai dengan kondisi dan situasi, filosofi pendiri bangsa-bangsa,
sejarah kebudayaan masing-masing kawasan, dan cita-cita masa depan bangsa.
Lebih dari itu, menurut Bung Karno, dalam pidatonya
pada 24 September 1955, merah putih bukanlah buatan Republik Indonesia. Bukan
pula buatan tokoh-tokoh di zaman pergerakan nasional. Bukan buatannya Bung
Karno, bukan buatannya Bung Hatta. Enam ribu tahun sebelum Indonesia merdeka
manusia yang hidup di tanah air Nusantara sudah memberi makna pada Merah Putih.
Bangsa Indonesia sudah mengagungkan merah putih jauh sebelum agama-agama masuk,
seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Kerajaan-kerajaan di Nusantara dari
mulai Kediri, Singosari, Majapahit sampai Mataram menggunakan merah putih
sebagai panji-panji. Bung Karno kemudian berwasiat, “Aku minta kepadamu
sekalian, janganlah memperdebatkan Merah Putih ini. Jangan ada satu kelompok
yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia”.
Akhir kalam, merah putih yang memiliki filosofi
berani dan suci pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang
mengajarkan keberanian dan kesucian (al-syaja’ah wa nadhafah). Maka penulis
mengajak umat Islam di Indonesia agar melihat persoalan ini secara historis dan
jangan terjebak pada sikap beragama yang simbolik dan tekstual (al-tadayyun
al-syakli wal harfi) ala ISIS dan HTI.
Beragama yang simbolik seperti ISIS dan HTI akan
mengakibatkan kita terkungkung pada kulit sembari mengabaikan isi. Terjebak
pada bentuk dan melupakan nilai filosofi. Memberhalakan teks dan menafikan
konteks.
Sumber: Islami.co
Post a Comment