Wacana Kita - Mungkinkah berislam sekaligus menjadi
seorang nasionalis yang fanatik? Pertanyaan ini menggelitik pikiran penulis
oleh sebab penulis diajak berdiskusi dengan tema nasionalisme Pesantren.
Berbincang nasionalisme di pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari induknya,
NU, sebagai organisasi yang memperjuangkan kaum bersarung negeri ini.
gus hilal |
Muktamar itu memutuskan bahwa Indonesia
sebagai sebuah bangsa harus dipertahankan, meskipun pemerintahnya bukan
orang-orang Muslim. Hal ini didasarkan pada sebuah kitab bernama Bughyatul Mustarsyidin, berdasarkan pada
alasan bahwa orang-orang Muslim di negeri ini dikasih kebebasan untuk
menjalankan agamanya. Hal ini
sejalan dengan pandangan sebagian ulama yang menyatakan bahwa negeri ini telah
diperintah oleh kaum muslim sebelum orang-orang belanda itu datang ke negeri
ini. Kita bisa melihat, kerajaan-kerajaan semacam Demak, Mataram, Cirebon, dan
lain-lain telah terlebih dahulu memerintah negeri ini. Sehingga tidak ada
alasan untuk membubarkan negara Indonesia dan membangun sebuah negara Islan di
negeri ini.
Hal ini menjelaskan bahwa menjadi Muslim
yang taat dan sekaligus menjadi seorang nasionalis bukan hal yang mustahil.
Para ulama telah mencontohkan hal itu dengan sebuah tauladan yang apik. Momen
berikutnya adalah bagaimana para ulama mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan
dan memperjuangkan kelangsungan bangsa Indonesia adalah sebentuh Jihad Fi
sabilillah.
Perhatikan, bagaimana para kiai ini, yang
sehari-harinya hanya mengurus santri dan pusing dengan urusan bangunan
pesantren, bisa berbicara tentang bangsa Indonesia dan bisa memberi sumbangan
yang amat berarti terhadap keberlangsungan negeri ini.
Alkisah, pada tanggal 21-22 Oktober,
seluruh kiai dari Madura dan Jawa berkumpul di Surabaya, untuk membicarakan
melakukan penyikapan terhadap rencana kedatangan pasuka NICA pada pertengahan
september, satu bulan selanjutnya. Dengan dipimpin langsung oleh hadratusy
syaikh Hasyim Asy’ari, perkumpulan itu menyerukan bahwa mempertahankan negara
Indonesia dari tangan belanda adalah sebentuk Jihad Fi sabilillah.
Baru pada tangga 10 November kita mengenal
hari kesaktian Pancasila, karena para pejuang Arek-arek Suroboyo itu
mempertahankan negerinya mati-matian dari tangan penjajah untuk, kedua kalinya!
Andaikan tidak ada resolusi jihad, tentu negeri ini sudah berada ditangan
penjajah, dan kita tidak bisa menikmati kemerdekaan seperti sekarang ini. Inilah
peran yang telah dimainkan oleh kaum bersarung dalam mempertahankan kedaulatan
NKRI.
Selanjutnya, bagaimana para kiai membuat
konsep-konsep kebangsaan untuk mengisi kemerdekaan negeri ini. Tercatat di
dalam sejarah Kiai Ahmad Siddiq, menelorkan konsep tentang persaudaraan
kebangsaan (ukhuwah watoniyah), yang
sejajar dengan persaudaraan seiman (ukhuwah
islamiyah) dan sesama makhluk Tuhan (ukhuwah
basyariyah). Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Ahmad Siddiq menganggap bahwa
persaudaraan di level bangsa tidak berbeda dengan persaudaraan di level iman
dan sesama makhluk Tuhan. Ketiga bentuk persaudaraan ini sama-sama termaktub di
dalam kitab suci dan ditauladani dengan baik oleh kanjeng Nabi.
Dengan konsep persaudaraan ini, Kiai Ahmad
Siddiq mengembangkan konsep pluralisme di tengah kehidupan bangsa yang amat
beragam. Kehidupan yang eksklusif tidaklah sesuai dengan ajaran yang terdapat di dalam
Islam. Konsep ini juga mengajarkan kehidupan antargolongan yang damai.
Nasionalisme Pesantren: Elitiskah?
Sekarang ada beberapa kalangan yang
mengeluhkan bahwa nasionalisme yang berkembang di Pesantren cenderung elitis,
kurang membumi. Masyarakat kelas bawah cenderung kurang peduli dengan
tetek-bengek urusan tentang mempertahankan bangsa, sementara masyarakat kelas
atas cenderung tidak ambil pusing dengan pendidikan politik terhadap
masyarakatnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagaimana wacana tentang
nasionalisme sebetulnya amat rapuh di level grassroot,
dan pada ujungnya akan mudah digoncang oleh ancaman-ancaman dari luar.
Kita lihat saja, bagaimana televisi sudah
menjadi panutan baru di luar para kiai dan ustadz di pesantren. Apakah televisi
bisa menjembatani kesenjangan antara elit dan masyarakat bawah ini? Tentu
harapan ini masih jauh dari jawaban positif, mengingat televisi dan media
elektronik saat ini masih dikendalikan oleh pasar dan masih belum bisa
menjembatani kesenjangan pendidikan di negeri kita. Dengan demikian,
kekhawatiran bahwa pendidikan politik sebagai basis dari wawasan kebangsaan
terhadap penerus bangsa akan mengalami kendala yang sangat pelik.
Sementara itu, kecenderungan melakukan
politisasi massa terhadap masyarakat bawah di kalangan nahdliyin telah mencapai
titik yang amat massif. Masyarakat sebagai kekuatan perubahan telah terlanjur
menjadi alat legitimasi sesaat untuk mengukuhkan jabatan dan kursi kekuasaan.
Apalagi fenomena ini diperkuat
dengan simbol-simbol agama, sehingga kecenderungan praktik politasasi agama
semakin menguat.
Inilah catatan yang menjadi PR besar bagi
kalangan nasionalis di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa penguatan basis
nasionalisme di kalangan Nahdliyin adalah modal besar untuk keberlangsungan dan
ketahanan Indonesia sebagai bangsa. Barangkali, pada ujungnya nanti, penguatan
basis kultural adalah solusi yang aman.
Namun, bukan berarti sudah tidak ada
harapan sama sekali, oleh sebab ada kecenderungan pesantren untuk kembali
kepada masyarakat. Hal ini tentu menjadi kekuatan baru bagi kalangan masyarakat
sipil untuk mempertahankan daya tawar nya dihadapan negara dan pasar.[]
Oleh: Gus Hilal
Post a Comment